Biografi Nurcholish Madjid - Cendekiawan Muslim

Biografi Nurcholish Madjid Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau populer dipanggil Cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939. Dia adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi.

Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah. Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada LIPI, 1978-sekarang; guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990. Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya yang telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, suntingan Agus Edy Santoso (Bandung, Mizan, 1988)

Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).

Cak Nur dianggap sebagai salah satu tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman/ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah
konsep yang logis.
 Nurcholish Madjid bersama Gusdur
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai mendorong pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam di Indonesia, terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.

Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh Presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah.

”Jadilah bambu. Jangan jadi pisang. Daunnya lebar membuat anaknya tidak kebagian sinar matahari. Bambu lain rela telanjang asal anaknya, rebung, pakaiannya lengkap.”
Metafora itu berulang kali dilontarkan cendekiawan Nurcholish Madjid (66) dalam berbagai kesempatan. Mengingatkan bangsa ini betapa pentingnya menunda kesenangan untuk hari esok yang lebih baik. Menahan diri dari kemewahan dan mementingkan pendidikan. ”Bila perlu orangtua melarat, tapi anaknya sekolah dengan baik,” pesannya. Cak Nur tidak hanya berpesan, tetapi menyatakannya dalam kehidupan. Kedua anaknya melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat hingga jenjang master. Kesederhanaan melekat kuat dalam keseharian kehidupannya.

Dia bukan hanya cendekiawan, tetapi pemberi inspirasi bagi bangsanya, dengan gagasan yang sering kali mendahului zamannya. Tahun 1970, ketika semangat masyarakat berpartai menggebu, putra sulung almarhum Abdul Madjid ini muncul dengan jargon ”Islam Yes, Partai Islam No”, untuk melepaskan Islam dari klaim satu kelompok tertentu, dan menjadi milik nasional. Namun, sedikit yang paham dengan gagasan ini, menganggap Cak Nur mengembangkan sekularisme.

Tahun 1980-an, Cak Nur mendorong terjadinya check and balance dengan munculnya ide oposisi loyal. Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini juga melontarkan wacana Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang juga kembali menuai pro dan kontra. Cak Nur tak pernah surut mengembangkan intelektualitasnya. Lewat Paramadina, dikembangkan komunitas intelektual dan merengkuh kelas menengah Muslim Indonesia untuk lebih intensif mengkaji Islam. Dengan caranya, Cak Nur membuka jalan terwujudnya reformasi dengan menolak tawaran duduk di Komite Reformasi, yang akan dibentuk Presiden Soeharto untuk menghadapi tuntutan reformasi (1998). Penolakan itu meruntuhkan rencana Soeharto bertahan sebagai presiden.

Kegundahan terhadap kehidupan politik bangsa mendorong Cak Nur menyatakan siap mengikuti pemilihan presiden pada Pemilu 2004, dan lahirlah 10 program membangun Indonesia. Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara. biografiku.com

Label: , , ,